DISKRIMINASI DALAM PENDIDIKAN

1 Januari 2013 at 17.04 Tinggalkan komentar

Beberapa waktu yang lalu ada calon siswa yang dinyatakan tidak dapa tditerima di sebuah sekolah karena menderita cacat fisik. Padahal dari hasil tes masuk, si calon siswa mendapatkan nilai yang cukup tinggi dan kecacatannya tidak mengganggu aktivitas belajar si anak. Kasus ini mencuat dan memicu demonstrasi dan pemberitaan di media massa. Begitu banyak pihak yang peduli dengan kasus diskriminasi ini.

Diskriminasi seperti yang terjadi di Palangkaraya pada kasus di atas, hanyalah satu dari sekian banyak macam diskriminasi yang dialami oleh siswa sekolah dalam dunia pendidikan, akan tetapi tidak banyak masyarakat yang peduli dengan diskriminasi yang lain karena masyarakat menganggap itu adalah hal yang wajar.

Di Pangkalan Bun terjadi seorang calon siswa yang sudah berumur tujuh tahun tidak dapat diterima di sebuah sekolah dasar karena tidak lulus tes skolastik. Padahal ada calon siswa yang berumur lebih muda akan tetapi diterima di sekolah tersebut karena lulus tes skolastik. Ini tentu merupakan sebuah diskriminasi juga walaupun kemudian akan ada pihak yang berkelit bahwa sekolah dasar tersebut adalah sekolah pavorit dan sekolah percontohan. Kemudian masyarakat diam dan memakluminya.

Kalau ktia mau jeli, sebenarnya pendirian sekolah percontohan, sekolah model, atau sekolah unggulan sebenarnya merupakan sebuah perlakuan diskriminasi oleh pemerintah dan dinas pendidikan. Ini dapat dilihat dari berlimpahnya fasilitas sekolah unggulan yang terletak di pusat-pusat kota saja. Mengapa pemerintah hanya memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana hanya untuk beberapa sekolah saja. Apakah sekolah lain tidak bisa menjadi sekolah seperti itu. Bagaimana diskriminasi ini terjadi dan nyata jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di pinggiran. Sekolah dengan fasilitan yang seadanya dengan gedung kelas yang hampir roboh yang banyak diberitakan di media massa kita.

Lain halnya jika sebuah sekolah menjadi unggulan karena memang dibangun oleh dirinya sendiri. Sekolah diberi kepercayaan mengelola dana dengan jumlah yang sama, kemudian diadakan evaluasi pada akhir tahun. Jika terbukti pengelolaannya baik, bisa dipertahankan dengan pengelontoran dana yang lebih besar dibanding sekolah lain tapi dengan diskriminan dana yang tidak terlelu besar. Tentu saja penggelontoran dana itu bukan untuk pembangunan fisik, tapi untuk semakin meningkatkan akselerasi pendidikan dan pembelajaran.

Diskriminasi pendidikan dalam bentuk lain adalah pembagian kelas dengan kelas untuk siswa berprestasi akademik tinggi dan kelas dengan siswa dengan prestasi rata-rata. Sekolah yang menciptakan diskriminasi semacam ini akan menciptakan proses belajar yang diskriminan. Ini terjadi karena guru merasa nyaman mengajar di kelas unggulan dan merasa terbebani jika mengajar di kelas reguler. Akibat berikutnya, guru juga akan memberi perhatian lebih kepada siswa di kelas unggulan.

Efek psikologis bagi siswa yang duduk di kelas reguler adalah merasa rendah diri, sedangkan pada siswa yang duduk di kelas unggulan akan merasa sombong. Lebih berbahaya lagi jika ketika naik kelas, keadaan semacam ini terus dipertahankan. Dari segi kontak sosial, siswa dengan siswa dari kelas lain akan semakin jauh, tidak saling mengenal, walaupun sekolah di sekolah yang sama. Ini akan berbahaya jika kemudian tertanam pada diri anak bahwa manusia ternyata berbeda. Dia akan bersikap diskriminatif juga terhadap orang lain.

Ada memang pejabat yang mengatakan bahwa membina satu sekolah unggulan lebih baik daripada membangun seluruh sekolah supaya menjadi unggul adalah cara pandang yang picik. Tidak ada teori yang mengatakan bahwa siswa dari pusat pemerintahan lebih unggul dibanding siswa dari daerah pinggiran. Bahkan peserta olimpiade sain cukup banyak yang datang dari daerah.

Pejabat yang berkata seperti itu, adalah pejabat yang ingin kelihatan bagus, karena berhasil mengunggulkan beberapa sekolah baik. Akan tetapi sebenarnya itu adalah bentuk tidak bertanggungjawabnya si pejabat karena tidak sanggup mengelola pendidikan sehingga menjadi bermutu.

Kita bisa melihat, bagaimana pemerintah mendiskriminasikan juga untuk anak-anak di daerah yang jumlh peserta didiknya sedikit dengan memberikan bantuan jumlah guru yang sedikit juga. Padahal kita tahu, untuk tingkat SMP dan SMA, guru mata pelajaran tidak mungkin mengajarkan materi pelajaran yang bukan merupakan keahliannya. Guru juga tidak mungkin diporsir untuk bekerja tanpa istirahat karena harus mengajar kelas yang tertlalu banyak.

Adanya standarisasi yang direncanakan oleh pemerintah semestinya disambut dengan baik. Pelaksanaan yang dilakukan secara bertahap bisa dimaklumi jika ada pembatasan waktu seperti model SWOT yang cukup dikuasai oleh para penentu kebijakan dalam dunia pendidikan.

Selanjutnya, apakah kita masih akan berlaku diskriminatif. Itu terserah kepada seluruh bangsa ini.

 

Entry filed under: Tak Berkategori.

Dicari: Guru Penulis Ekskul Menjadi Kedok

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed