Dicari: Guru Penulis

1 Januari 2013 at 17.03 Tinggalkan komentar

 

Guru penulis, maksudnya bukanlah guru yang mendidik siswa untuk menjadi penulis, karena bagaimana pun saya percaya dengan  Ersis Warmansyah Abbas (EWA), penulis buku Menulis Sangat Mudah, bahwa “sangat lucu ketika seorang teman mengukuti penataran menulis. Gilanya, si penatar belum pernah menulis buku. Coba pakai logika yang paling sederhana, mungkinkah orang yang tidak pernah menulis ‘mengajari’ bagaimana cara menulis”. Singkat kata EWA ingin mengatakan, “jangan belajar menulis kepada orang yang tidak pernah menulis”.

Sayang sekali dalam dunia pendidikan pada saat ini, ketika kurikulum yang dipakai adalah kurikulum 2006 berbasis kompetensi yang salah satu metode yang dipakai adalah Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual, guru-guru kita masih banyak yang mengajarkan materi menulis dalam pelajaran Bahasa Indonesia, tapi guru sendiri tidak memiliki kompetensi menulis. Bagaimana mau mengajarkan menulis kalau gurunya tidak pernah menulis. Bagaimana siswa akan memiliki kompetensi menulis jika yang diajarkan hanya terori menulis. Teori menulis tidak akan pernah menjadikan siswa mampu menulis. Di sinilah peran CTL. Guru harus menjadi model dalam pembelajaran menulis dengan menunjukkan karyanya. Kemudian siswa belajar menulis dengan praktik langsung menulis. Berapa banyak yang sanggup melakukan itu?

Di Kumai ada sebuah langkah yang cukup menggembirakan. Dengan diusung oleh seorang guru dan seorang sastrawan yang menggerakkan sekitar empat puluh orang siswa dari berbagai sekolah mencoba menggairahkan dunia kepenulisan melalui sebuah komunitas yang menamakan dirinya Komunitas Awan Senja. Dalam kegiatan yang dilaksanakan seminggu sekali itu sekelompok anak muda mencoba untuk mengalirkan energi kepenulisannya yang selama ini terpendam untuk menjadi karya. Komunitas ini baru lahir dan belum menghasilkan apa-apa. Tapi bukan sebuah kemustahilan bahwa pada saatnya nanti, setelah pisau kepenulisan itu terasah tajam, akan muncul penulis dari generasi ini.

Komunitas semacam ini semestinya juga digalakkan oleh siapapun ang berminat dan berdedikasi untuk menggerakkan anak-anak muda  yang punya potensi untuk itu agar dapat berkumpul seperti pada Komunitas Awan Senja. Selanjutnya proses yang akan menyeleksi para anak muda itu dalam berkarya.

Budaya bakesah yang hidup di masyarakat tradisional, sudah semestinya mengalami transformasi menjadi budaya tulis. Media untuk mempublikasikan karya, yang dulu hanya berupa majalah dinding, sekarang sudah berkembangdalam media cetak. Internet yang mulai merambah ke berbagai kalangan dalam dunia pendidikan dapat juga menjadi media dokumentasi dan publikasi karya tulis. Seperti yang sedang penulis rancang, yaitu membuat blog untuk karya tulis siswa di internet. Memang baru dibangun, tapi dalam waktu dekat, bagaimanapun karya anak muda itu, perlu publikasi. Setidaknya ini akan merangsang siswa untuk lebih mampu berkarya. Guru memang harus jadi model dalam hal ini.

Dalam Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi ada materi pelatihan mengenai Penelitian Tindakan kelas (PTK). PTK yang sebelumnya lebih dikenal dengan nama keren Action Research, merupakan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh guru dengan dasar upaya untuk meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan lainnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi  saat menjalankan tugasnya. Kalau kita mau mencari di intenet, akan didapatkan Pedoman Penyusunan Usulan Penelitian Tindakan Kelas, Pembuatan Laporan Hasil Penelitian Tindakan Kelas, dan buku kecil berjudul Penelitian Tindakan Kelas. Berbagai macam workshop PTK dilaksanakan di berbagai daerah dengan tujuan agar guru mampu melakukan PTK.

Upaya meningkatkan kualitas pendidik akan memberi dampak ganda. Pertama, peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata. Kedua, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Ketiga, peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Keempat,  penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian.

Di Kalimantan Tengah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dalam suratnya yang  bernomor 050/238/Dikmenti/2007 tentang informasi seleksi peserta diklat program guru meneliti memprogramkan diadakannya pendidikan dan latihan untuk guru agar mampu membuat proposal penelitian. Selanjutnya proposal diseleksi, dan yang lolos akan mendapatkan bantuan dana penelitian untuk selanjutnya yang bersangkutan melakukan penelitian. Hasil penelitian itu nantinya akan dipublikasikan dalam jurnal yang akan segera diterbitkan.

Amat disayangkan, surat yang ditujukan kepada kepala-kepala sekolah dan isinya menyangkut pengembangan profesi guru itu tidak disampaikan atau disebarluaskan ke sekolah-sekolah. Dinas Dikjar Kotawaringin Barat saja hanya menempelkannya di papan pengumuman. Padahal kita semua tahu, tidak setiap bulan sekali guru datang ke kantor Dinas Dikjar.

Program itu sangat bagus, karena selama ini banyak guru yang takut melakukan penelitian karena ketiadaan biaya. Sekolah pada umumnya tidak mengalokasikan anggaran untuk guru yang melakukan penelitian. Apakah program ini akan berlanjut atau tidak, kita dapat menduganya. Apalagi RAPBN 2008 untuk anggaran pendidikan malah dipangkas separuhnya.

Tidak seperti Dirjen Dikti, Dirjen Dikdas Depdiknas tidak membuat pedoman penyusunan usulan penelitian tidnakan kelas. Padahal dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti, diuraikan secara lengkap hal-hal ang berhubungan dengan PTK sampai dengan bantuan dana untuk tim dosen dan guru yang melakukan PTK sampai sebesar sepuluh juta rupiah, dan juga sistematika usulan PTK.

Tidak sepeti dosen, bagi guru penelitian adalah hal baru. Guru tidak pernah melakukan penelitian,  kecuali guru yang sarjana pernah melakukan penelitian saat menyusun skripsi. Semestinyalah Dirjen Dikdas membuat pedoman semacam itu, apalagi PTK menyangkut inovasi pengajaran di kelas. Ini tentu menyangkut kepentingan kemajuan pendidikan dan profesionalisme guru seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.

Dunia pendidikan kita sepertinya tidak menggerakkkan kakinya untuk maju, tapi pandangan mata saja yang tertuju jauh ke depan. Diperlukan tindakan nyata dari para guru untuk menyongsong era kesejagatan.

Kembali kepada EWA, ia adalah provokator menulis. Gaya bahasanya provokatif dan bukunya enak dibaca. Guru perlu sekali membaca buku-bukunya, kemudian mempraktikkannya dalam kepenulisan yang nyata. Sudah saatnya dunia pendidikan dipenuhi dengan orang-orang yang berkompeten, bukan birokrat yang sering disalahartikan sebagai pencari keuntungan dari negara.

 

Willy Ediyanto, S.Pd.

Pendidik,

Tinggal di Kumai

Dimuat di Boneonews, 17 September 2007

Entry filed under: Tak Berkategori.

Di SBI, Bahasa Indonesia seperti Bahasa Melayu DISKRIMINASI DALAM PENDIDIKAN

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed