Ekskul Menjadi Kedok

1 Januari 2013 at 17.06 Tinggalkan komentar

Borenonews 12 Februari 2008 memuat berita yang cukup menghebohkan bagi publik pembaca di Kalimantan Tengah, khususnya kota Pangkalan Bun. Kehebohan itu terjadi karena harian ini menginformasikan bahwa Kepala SMP Negeri 4 Kumai melakukan tindakan asusila kepada dua orang siswinya. Kepala sekolah yang semestinya menjadi pelindung dan panutan malah menjadi pelaku tindak negatif bagi siswa yang semestinya menjadi pihak yang dilindungi dan diberi contoh ang baik.

Ketika seorang guru tidak lagi memberi contoh yang baik dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, dia bukan lagi seorang guru. Apalagi yang dilakukan oleh Anang Widianto, Kepala SMP 4 Kumai, memanfaatkan kegiatan ekstrakurikuler pramuka sebagai kedok. Pramuka sendiri sebenarnya merupakan kegiatan yang positif dalam upaya membina generasi muda temasuk pelajar. Dikhawatirkan nantinya kegiatan ekstrakurikuler apapun akan dinilai negatif.

Siswa sebagai korban, pada umumnya takut menolak karena adanya ancaman dan rasa malu. Keterbukaan dengan orang tua pun seringkali menjadi penyebab lambatnya kasus seperti ini terungkap. Ini seperti yang terjadi pada SL dan Id, korban tindakan asusila yang tidak berani melaporkannya kepada teman, guru, ataupun orang tua masing-masing. Menurut pengakuan mereka, seperti diberitakan Borneonews (12/2) adalah karena takut dan malu jika hal ini kemudian terkuak.

Namun, apapun sanksi yang akan diterima, nasi sudah menjadi bubur. Masyarakat menolak tindakan yang telah mencoreng wajah pendidikan di negeri ini. Selanjutnya, bagaimana perlindungan terhadap korban yang sudah terlanjur menderita rasa malu yang tidak tertanggungkan?

Belum habis ingatan kita mengenai beredarnya video mesum pelajar di Pangkalan Bun pada perangkat telepon genggam yang mengakibatkan pelaku malu dan harus rela pindah sekolah. Korban di SMP 4 Kumai, tentu merasakan hal yang sama bahkan lebih kaena dilakukan dengan terpaksa. Apakah kemudian pelaku pada kejadian terakhir ini akan tetap dipertahankan atau hanya sebatas dimutasikan saja?

Masyarakat melihat banyak contoh lain. Pada sekitar tahun 1984, penulis memiliki guru yang juga melakukan tindakan yang sama dengan alasan konseling. Hukum kemudian memutuskan guru tersebut diberhentikan tidak dengan hormat. Saat ini kita menunggu tindakan seluruh jajaran penegak hukum dan jajaran Dinas Pendidikan Kotawaringin Barat. Kepada siapakah mereka berpihak?

Patut ditiru kebijakan beberapa sekolah yang mewajibkan siswa-siswa sekolah lanjutan untuk menggunakan rok panjang dengan bagian bawah lebar. Keuntungan pertama, bagaimanapun guru adalah manusia yang dapat tergoda jika ada siswa yang menggunakan rok pendek dan ketat. Apalagi tidak banyak meja siswa yang berpenutup di bagian mukanya. Keuntungan kedua, dengan rok panjang dan lebar, siswa dapat membela diri atau melarikan diri ketika ada ancaman kejahatan. Keuntungan ketiga, sudah saatnya kita membendung pengaruh sinetron televisi berlatar sekolah yang siswanya berpakaian ketat dan pendek sehingga seringkali menonjolkan atau memperlihatkan bagian tubuh yang tidak layak lihat.

 

Willy Ediyanto,

praktisi pendidikan

tinggal di Kumai

 

Entry filed under: Tak Berkategori.

DISKRIMINASI DALAM PENDIDIKAN Merekam Peristiwa Kehidupan Melalui Puisi

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed